SAHABAT dan
CINTA
Maafkan
aku teman aku takkan bisa menjadi kekasih bagi pacarmu. Meskipun itu permintaan
terakhirmu.
Untukku…
Kalimat
itulah yang menjadi isi hatiku saat ini. Ya, semenjak Tommy seorang sahabatku
meninggal dunia, akibat Leukimia yang telah lama ia alami. Aku telah
mengenalnya semenjak tiga tahun yang lalu. Kala itu aku duduk semester akhir di
sebuah Perguruan Tinggi Swasta di kota Gudeg Jogjakarta.
Perkenalanku
dengan Tommy dimulai dalam suatu malam. Kala itu cacing perutku sudah
meronta-ronta, sementara jarum jam telah menunjukkan pukul 01.00 dini hari,
sialnya uangku hanya tinggal tiga ratus ribu rupiah, aku belum mendapat kiriman
dari orang tuaku. Dan lebih parahnya lagi uang tiga ratus ribu rupiah itu
sebenarnya digunakan untuk membayar uang semesterku.
Otakku
berfikir bagaimana caranya agar aku bisa mengisi perutku dan membuat mereka
tertawa bahagia.
“Ah
sial”, kataku dalam hati. Dengan tekadku yang kuat, dan tanpa pertimbangan lagi
akhirnya aku hidupkan sepeda motorku, untuk mencari warung di dekat kostku.
***
“Mungkin
semangkuk indomie goreng mampu membuat perutku merasa tenteram”
Begitulah
pikirku.
Tak
jauh dari kostku aku menemukan warung yang masih buka, warung ini biasanya
adalah langgananku untuk santai, makan, dan biasanya aku juga hutang di warung
ini. Mungkin pada tahu semua alasan mengapa aku hutang. Malam itu aku memesan
semangkuk mie instan dan es teh.
“Kang
hutang ya, belum dapat gajian nich dari orang tua” kataku dengan teriak.
“Bayarnya
kapan atuh, hutang melulu” kata penjaga warung.
“Besok
dech, aku janji” kataku.
Aku
duduk di sebuah meja dimana tepat berhadapan dengan seorang pria yang mungkin
sebaya denganku, pria dengan berkacamata itu hanya tersenyum dengan lesung
pipitnya.
“Lagi
bokek ya,” katanya.
“Ya
nich mas” kataku.
Ya
sudah nanti aku yang bayarin” katanya dengan logat jawa yang medok.
“Hatur
nuwun mas” kataku sambil tersenyum.
“Tinggal
di mana mas” katanya lagi.
“Di
Gejayan”
“Oh
ya, kenalkan nama saya Tommy, di sini kuliah ya?” katanya.
“Ya,
namaku Jhonny aku asal Kalimantan.”
Tak
lama kemudian akhirnya terjadilah pembicaraanku dengan Tommy, dia adalah
seorang sutradara film yang berasal dari keturunan ningrat. Aku pun mengenalkan
diri sebagai seorang mahasiswa yang mendalami ilmu multimedia, lalu kami
bertukar nomor handpone.
***
“Ah,
Alhamdulillah jika aku tidak bertemu dengannya aku tidak tahu bagaimana caranya
agar aku bisa membayar uang SPP kuliahku besok” kataku dalam hati.
Keesokan
harinya aku mendapat SMS dari Tommy.
“Hallo
Jhon, bagaimana kabarnya. Oh ya, aku ada film nie. Filmnya belum sempat aku
edit, karena aku sibuk. Jadi aku harap kamu bisa mengedit filmku ini. Nanti
kamu kerumahku saja, nanti kamu ku jemput. Kost kamu dimana?”
Aku
balas SMS itu. “Aku masih di kampus, masih ada kuliah. Nanti kalau pulang kamu
ku kabari. Oke.”
Lalu
ia membalasnya. “ Oke”
Matahari
kala itu sedang berada di ujung kepala, tubuhku terasa letih karena dari pagi
aku sibuk dengan urusan mata kuliah di kampus. Saatnya aku pulang, dan aku tak
lupa untuk sms Tommy. Karena janji bagiku adalah hutang yang harus dilunasi.
“Bro,
aku sudah sampai di tempat kost”
Sekitar
tiga jam aku tunggu di kost akhirnya Tommy menjemputku, dan membawaku ke
rumahnya.
Tommy
bagiku adalah sosok orang yang ramah, supel, dia bisa bergaul dengan siapa
saja, tak peduli kaya atau miskin.
Ini
adalah filmku yang pertama kalinya aku kerjakan. Jadi aku tidak bisa
sembarangan dalam mengedit, aku harus hati-hati. Oleh sebab itu, aku banyak
bertanya kepada Tommy. Tommy orangnya murah senyum.
***
Tak
terasa setahun lamanya aku menjadi sahabat Tommy. Dia sering melibatkanku di
dalam produksi-produksi filmnya, entah aku sebagai kameramen, lighting,
editing, dan sebagainya.
Tommy
adalah seorang teman yang memiliki segudang ilmu pengetahuan perfilman. Tak
jarang pula aku sering di traktir olehnya untuk menonton film di bioskop.
Bagiku dia sudah lebih dari seorang sahabat. Mungkin dia adalah kakak bagiku.
Orang tua Tommy amat ramah kepadaku, meskipun mereka sering ke Jakarta.
Jujur
ku akui, aku sering ikut berbagai festival film bersama Tommy, terkadang kami
menang dan terkadang pula kalah. Terkadang juara satu dan terkadang pula
tersisih di penyisihan. Tapi bagi kami persahabatan mengalahkan segala-galanya.
Hanya satu kekuranganku dengan Tommy. Tommy memiliki seorang pacar yang bernama
Lisa. Orangnya cantik, sedangkan aku tidak memiliki kekasih. Ingin sekali
harapanku memiliki kekasih, namun tak dapat terwujud. Tapi itu tak masalah
bagiku, yang terpenting bagiku adalah persahabatan. Dari persahabatan ini tanpa
aku sadari aku bisa memiliki penghasilan yang tak ku kira datangnya. Ya, dari
hasil jual film. Karena bagi kami film dapat menjadi hal komoditas yang berharga.
***
Hingga suatu malam ketika aku menginap di
rumahnya secara tiba-tiba Tommy bertanya kepadaku’
“Jhon,
kamu kok tidak punya pacar, seandainya aku sudah tidak ada kamu mau nggak jadi
pacar Lisa?”
Pertanyaan
itu amat menyentakku
“Maksud
kamu apa Tom”
“Kamu
tahu tidak kalau umur kita itu tidak ada yang tahu. Aku juga tidak tahu umurku
sampai berapa. Jhon, kamu sudah aku anggap seperti saudara aku sendiri. Kamu
sudah aku anggap seperti adikku sendiri”
“Aku
tidak mengerti apa maksud kamu”
“Ya
sudah, jujur saja, aku merasakan kalau aku semakin hari semakin lemah. Aku
sudah tidak seperti dulu lagi, aku bukan Tommy yang kamu kenal, Aku uhukk…
uhukkk… uhuk…”
“Kamu
kenapa Tom”
Aku
terkejut ternyata dari mulut Tommy mengeluarkan darah
“Tom,
kamu sakit”. Tommy hanya terdiam
“Kamu
jawab pertanyaanku.” Tommy hanya mengangguk
“Sebenarnya sudah lama aku sakit seperti ini. Sejak kecil aku mengidap
leukemia, dan aku sengaja tidak memberitahumu. Aku sudah tidak kuat lagi. Kalau
aku sudah tidak ada lagi kamu bersedia jadi pacarnya Lisa”
“Aku
akan antar kamu ke rumah sakit, kamu harus kuat Tom”
Sentak
aku menghentikan pekerjaanku di rumahnya, dengan sepeda motorku aku mengantar
Tommy ke rumah sakit terdekat. Ku telepon orang tua Tommy, dan mengatakan bahwa
kondisinya sudah gawat.
Keesokan
harinya, kedua orang tua Tommy telah tiba di bandara. Lalu dijemput olehku dan
juga Lisa. Kami langsung menuju rumah sakit. Dan menuju ruang dimana Tommy di
rawat. Tangis keluarga pun menjadi-jadi. Ku genggam tangan Tommy erat-erat.
Seorang dokter mengatakan bahwa kondisi Tommy sudah koma, dan kritis.
Tommy
membisikiku untuk terakhir kalinya.
“Jhon,
tolong jaga Lisa baik-baik ini adalah permintaan terakhirku. Aku minta jadilah
kamu seorang movie maker yang handal” katanya secara terbata-bata.
“Ya,
aku berjanji”
Tak
lama kemudian, dia menghembuskan nafas terakhirnya.
Oh Tuhan, aku kehilangan seorang sahabat yang
penting dalam hidupku. Mengapa cepat engkau mengambil sahabatku. Entah dimana
akan aku dapatkan sahabat seperti dia. Di hari pemakamannya tak kuasa aku
menahan tangis isak air mataku. Teman… jujur aku katakan bahwa aku tak
mencintai Lisa, aku terlanjur menganggapnya sebagai sahabatku. Aku merasa
berdosa pada Tommy, yang tak bisa memenuhi janji itu. Guna menjadi pengganti
dirinya di dalam kehidupan Lisa.
Keesokan
harinya aku mengajak Lisa di sebuah cafe. Lalu aku akan coba berkata jujur
kepada Lisa.
“Lis
aku minta maaf kepadamu, kalau aku tidak bisa menjadi pengganti Tommy di
kehidupanmu.”
“Kamu
masih punya hati apa tidak, kamu sempat berbicara seperti itu. Aku tidak
mengerti apa maksudmu” kata Lisa.
“Jujur,
Tommy memintaku untuk jadi penggantinya, pengganti pacarmu. Tapi maaf aku sudah
punya pacar lain yang bernama … “
“Stop,
kamu ternyata tidak berterima kasih kepada Tommy. Kamu selama ini ku anggap
sebagai saudara. Ternyata berkhianat di belakang Tommy. Dan…” kata Lisa.
“Aku
belum selesai bicara, apa kamu sudah memiliki hati kepadaku, apa artinya
pacaran jika tanpa dilandasi rasa cinta” kataku.
“Seandainya
Tommy masih hidup mungkin dia menyesal punya saudara angkat sepertimu” katanya
lagi.
“Lisa,
aku mohon … kamu ingin jadi pacarku karena kamu sebenarnya masih cinta Tommy.
Jujur aku rasa Tommy mengerti kalau tanpa cinta suatu hubungan takkan pernah
berhasil. Dan mungkin dia maklumi di alam baka sana.”
***
Lisa
hanya diam terpaku, “Begini saja, kalau kamu mau, ya jujur aku tidak tega
membayangkannya. Aku mohon carilah pengganti diriku. Yang lebih baik dariku, ku
rasa kamu akan menemukannya.” Lisa mengangguk setuju. Aku tahu dia terluka
karena ucapanku, ku lihat air matanya jatuh berlinang. Kuusap air matanya.
“Kita masih bisa bersahabat” ucapku.
Teman,
saat ini kenangan itu masih membekas di benakku. Paling tidak hingga ku
tuliskan sebuah puisi sebagai ungkapan hatiku mengenang sahabatku.
“Maafkan aku teman
Aku takkan bisa menjadi kekasih
Bagi pacarmu
Meskipun itu permintaan terakhirmu
Untukku
Mungkin kesepian adalah jalan yang
Terbaik dalam hidupku” (Maulana Eka Putra)